Anugerah Kekuatan yang Terlupakan dari Penantian

Berdiam diri dengan tenang menanti-nantikan Allah akan menyelamatkan orang dari berbagai kesalahan dan dari berbagai kesengsaraan.
James Hudson Taylor, Misionaris Inggris di China Abad Sembilan Belas

TIDAKLAH MENGHERANKAN bila banyak di antara kita yang berada dalam ketergesa-gesaan. Alasan bagi laju kehidupan yang kian meningkat ini, bisa terlihat jelas dari analisa langsung terhadap kemajuan yang meningkat tajam. Akan tetapi, yang sesungguhnya mengherankan adalah betapa kita hampir tidak menyadari bahwa akselerasi yang seperti itu ternyata sedang terjadi pada generasi kita. Meskipun zaman kita dalam sejarah belum pernah diperkirakan sebelumnya, bagi kita setiap hari kehidupan ini nampaknya persis seperti fotocopy dari kesibukan hari yang lalu dan dari stres yang sama yang akan datang esok hari.

Akan tetapi, Allah suka akan kata-kata menantikan, tenang, beristirahat dan berdiam diri. Apa yag telah terjadi dengan kata-kata ini? Pada masa lalu, orang-orang beriman membicarakan kata-kata tersebut dan percaya pada konsep seperti itu. Kini, tak seorang pun yang mengutarakannya, setidaknya bukan dalam cara yang mengandung makna secara fungsionil.

Mempelajari kebaikan atau kekuatan dari berdiam diri di tengah-tengah kesibukan merupakan oksigen yang sangat dibutuhkan bagi orang-orang yang mengalami keletihan di mana-mana. Daripada dielu-elukan oleh mantera yang diterima secara sosial “semakin banyak, semakin cepat,” mungkin kita bisa mendapatkan kembali laju kehidupan Yesus yang keramat itu. Kelebihan beban dan ketergesa-gesaan bukanlah merupakan prasyarat bagi pelayanan, namun, itu merupakan musuh iman. Bisakah ktia mengacungkan papan-papan baru yang bertuliskan seperti “Hentikanlah keyakinan yang mengatakan bahwa kepenatan yang kronis itu adalah sesuatu yang wajar, bahwa jiwa yang lesu itu memang tak bisa dihindari, bahwa burnout itu adalah hal yang saleh?”

Almarhum Bob Benson mengisahkan tentang seorang penginjil yang sering muncul di TV yang terkena masalah dengan tenggorokannya dan disarankan supaya ia tidak berbicara selama 3 bulan. Ini hal yang mustahil, protes sang penginjil itu. Lalu ia berdoa, dan Allah secara ajaib menyembuhkannya. Benson merefleksikan,

Bisakah Anda membayangkan Anda berkata kepada Allah — Allah yang tak berawal dan tak berakhir, yang kekal, yang dulu, sekarang, dan yang akan datang selalu adalah Allah, yang menanam benih-benih bunga tulip dalam kegelapan tanah, yang menyembunyikan pohon-pohon ek di dalam bijinya, Allah yang seperti inilah — bahwa Anda tidak punya waktu tiga bulan?
Bagi saya itu nampaknya berani sekali, paling tidak dengan mengatakan hal seperti ini kepada Allah yang sudah mengenal Anda sebelum Anda ada. Memberi saran kepada Allah yang seperti inii — yang telah berjanji untuk mengatur kehidupan Anda dan mentransformasikannya untk kebaikan bagi tujuan-Nya — bahwa Ia harus melaksanakannya karena Anda tak punya waktu untuk dibuang-buang secara percuma. Itu adalah tindakan yang cukup berani! Sepertinya saya bisa mendengar Allah berkata, “Aku pikir Aku akan menyembuhkannya. Ini akan lebih mudah daripada harus memberi penjelasan kepadanya.”

Tentu saja kita memang harus aktif demi kepentingan kerajaan-Nya. Menaruh hammock (tempat tidur gantung) di puncak bukit dan mengagumi formasi awan sampai Yesus datang kembali memang bukan jenis “menanti-nantikan” yang dikehendaki. Namun, ketika ketidaksabaran kita mulai merambat sehingga ktia mulai memberitahu Allah bagaimana cara menjalankan pekerjaan-Nya, maka kita telah melanggar garis batas yang penting.

R/ Bila Anda tak yakin apa yang harus dilakukan, tunggulah. Berdoalah. Carilah nasihat. Berdoa lagi. Berharaplah pada Allah supaya Ia menjawab kebingungan Anda dengan memberikan penjelasan. Pasti Dia akan melakukannya, pada waktu-Nya. Bersabarlah…


Kesabaran adalah kunci untuk meringankan ketegangan.
[PEPATAH SIRIA]
Dikutip dari buku : A Minute of Margin


Posted in Renungan | 2 Comments

The Joy and The Hope

Apa sih yang menjadi sukacitamu yang terbesar?

Ketika memikirkan pertanyaan ini, mungkin ada di antara kita yang langsung berpikir jawabannya adalah : kecukupan materi, kekuatan, kesehatan, kepandaian, perlindungan dari bahaya, keluarga/teman yang baik, ato kekasih maybe??

Yah.. Padahal itu kan berkat dari Tuhan.. ^.^
Bagaimana dengan Sang Pemberi Berkat itu sendiri?? Adakah kita menjadikan Dia sebagai sukacita kita yang terbesar?

Mengkaitkan tentang The Hope… Apa sih pengharapanmu?

Aku pribadi sangat menanti-nantikan satu waktu…. Waktu ketika aku boleh berada di Surga bersama Tuhan, bersama semua orang percaya.. Tidak ada dosa.. Itu adalah pengharapan indah yang aku nanti-nantikan.

Saat teduh tanggal 13 November 2008 yang lalu, aku diajak untuk berpikir.. Apa yang menjadi pengharapanku dan apa sih sukacitaku yang terbesar?

Seharusnya nih.. Sukacita yang terbesar adalah bahwa Allah ada bersama kita dan kita menjadi milik-Nya.

Namun, sudahkah itu yang menjadi sukacita kita yang terbesar?

Aku jadi teringat lagunya Fanny J. Crosby : I Am Thine, O Lord (Aku Milik-Mu, O Tuhan)


Aku milik-Mu, Kau pun milikku, dan Kau mengasihiku
Tuhan tambahkan imanku ini, kumau dekat pada-Mu
Kumau dekat, dekat salib-Mu, kumau dekat pada-Mu
Kumau dekat, dekat, dekat salib-Mu, ke tempat darah kudus


Bagi aku, ini lagu yang indah.. Lewat lagu ini, aku bisa nyatain sukacitaku ketika menjadi milik Allah yang begitu mengasihiku.. permohonan pada Tuhan agar menambahkan imanku… Dan pernyataan kerinduanku untuk dekat dengan Dia.

The Joy..
Sukacita karena aku adalah milik Kristus dan Kristus selalu menyertaiku.
The Hope…
Pengharapan ketika aku bisa nantinya menikmati kekekalan bersama Tuhan..

Kiranya di tengah banyak tekanan dalam dunia ini, kita boleh senantiasa ingat pengharapan yang kekal itu dan sukacita yang terbesar itu.. Amin.

Posted in The Struggle | Leave a comment